RTD LEMHANNAS RI TENTANG PENGELOLAAN INDUSTRI PARIWISATA
Dalam Round Table Discussion (RTD) yang
diselenggarkan Lemhannas 6 Agustus
2009, Dr. Setyanto mengatakan bahwa
Pemerintah Indonesia seharusnya mengikuti
jejak Koizumi, menyiapkan kerangka tinggal
landas pariwisata Indonesia terutama
setelah terjadinya berbagai musibah teror
yang tahun ini ditandai dengan Bom Mega
Kuningan atau Bom Mariott II, karena
sebenarnya aset pariwisata Indonesia
sudah disediakan oleh Sang Maha Pencipta
bagi rakyat Indonesia, hanya memerlukan
pengelolaan secara profesional saja, untuk
dimanfaatkan bagi kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa.
Hal tersebut sangat penting, sebab
Berdasarkan data yang dikutip dari WTO,
pada tahun 2000 wisatawan manca negara
(wisman) internasional mencapai jumlah
698 juta orang yang mampu menciptakan
pendapatan sebesar USD 476 milyar.
Pertumbuhan jumlah wisatawan pada
dekade 90-an sebesar 4,2 % sedangkan
pertumbuhan penerimaan dari wisman
sebesar 7,3 %, bahkan di 28 negara
pendapatan tumbuh 15 % per tahun, lanjut
Setyanto Khusus untuk jumlah wisatawan
dalam negeri di masing-masing negara jumlahnya lebih besar lagi dan kelompok
ini merupakan penggerak utama dari
perekonomian nasional. Sebagai gambaran
di Indonesia jumlah wisatawan Nusantara
(wisnus) pada tahun 2000 adalah sebesar
134 juta dengan pengeluaran sebesar
Rp. 7,7 triliun. Jumlah ini akan makin
meningkat dengan adanya kemudahan
untuk mengakses suatu daerah.
Atas dasar angka-angka tersebut maka
wajarlah jika pariwisata dikategorikan
kedalam kelompok industri terbesar dunia
( the world’s largest industry ), sebagaimana
dinyatakan pula oleh John Naisbitt dalam
bukunya karena 8 % dari ekspor barang -
dan jasa, pada umumnya berasal dari sektor
pariwisata. Dan pariwisata pun telah menjadi
penyumbang terbesar dalam perdagangan
internasional dari sektor jasa, kurang lebih
37 %, termasuk 5-top exports categories di
83% Negara WTO, sumber utama devisa di
38% negara dan di Asia Tenggara pariwisata
dapat menyumbangkan 10 –12 % dari
GDP serta 7 – 8 % dari total employment.
Sedangkan di negara-negara kelompok
G-20, pariwisata mampu menciptakan
lapangan kerja 6% dari total lapangan kerja
karena mampu memberikan multiplier effect terhadap sektor pariwisata sendiri
dan manufacturing serta sektor pertanian.
Di negara-negara G-20 pariwisata
menyumbangkan 5% terhadap GDP dan
merupakan 27% dari total nilai ekspor.
Pariwisata pun sangat berkepentingan
dengan perubahan iklim (climate change)
sehingga mampu untuk mengurangi 5%
emisi karbon melalui konservasi yang
lebih baik, mengurangi kongesti, enerji
yang terbaharukan, dan green consumer
awareness. Prospek pariwisata ke depan
pun sangat menjanjikan bahkan sangat
memberikan peluang besar, terutama
apabila menyimak angka - angka perkiraan
jumlah wisatawan internasional (inbound
tourism) berdasarkan perkiraan WTO sebesar
1,046 milyar orang (tahun 2010) dan 1,602
milyar orang (tahun 2020), diantaranya
masingmasing 231 juta dan 438 juta orang
berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Kondisi tersebut akan mampu menciptakan
pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada
tahun 2020. Jumlah wisatawan tersebut
tampaknya akan dapat dilampaui terutama
jika diperhatikan angka pencapaian
Kuartal I tahun 2008 di Asia Pacific sudah
mencapai 94.273.416 orang (meningkat
8,9% dibandingkan angka tahun 2007
– sumber PATA Strategic Intelligent Centre).
Berdasarkan angka perkiraan tersebut, para
pelaku pariwisata Indonesia seharusnya
dapat melakukan perencanaan yang
matang dan terarah untuk menjawab
tantangan sekaligus menangkap peluang
besar di kawasan kita. Pemanfaatan peluang
harus dilakukan melalui pendekatan “
repositioning ” keberadaan masing-masing
kegiatan pariwisata dimulai dari sejak
investasi, promosi, pembuatan produk
pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran
internasional, dan penyiapan sumber daya
manusia yang berkualitas. Kesemuanya
ini harus disiapkan untuk memenuhi
standar internasional sehingga dapat lebih
kompetitif dan menarik, dibandingkan
dengan kegiatan yang serupa dari negaranegara
disekitar Indonesia.